“BAHASA
MELAYU SEBAGAI LINGUA FRANCA PADA MASA KURUN NIAGA”
Oleh
: Maryam Syafiyah / 4415151184
Pendidikan
Sejarah 2015 A
Pernahkah terpikir di benak kita
semua bagaimanakah cara berkomunikasinya orang-orang asing yang datang dari
Gujarat, Arab, Persia, dan Cina yang datang ke nusantara untuk berdagang antara satu sama lain dan khususnya
dengan penduduk lokal pada masa kurun niaga? Mengapa dari semua bahasa di
Kepulauan Indonesia-Malaysia, justru bahasa Melayu yang terangkat kedudukannya
sebagai Lingua Franca? Bagaimanakah
peran dan posisi Bahasa Melayu ketika itu? Dan seberapa pentingnya Bahasa
tersebut dalam hubungan perdagangan di Nusantara terutama pada masa kurun
niaga?
Menurut Kridalaksana (1991), Bahasa Melayu adalah salah satu anggota dari keluarga bahasa Austronesia, yakni kumpulan bahasa-bahasa yang mempunyai hubungan genetic dan terdiri atas lebih dari 800 bahasa, dituturkan mulai dari Madagaskar di barat sampai Pulau Paskah di timur, dan dari Taiwan di utara sampai Selandia Baru di Selatan.
Menurut Kridalaksana (1991), Bahasa Melayu adalah
salah satu anggota dari keluarga bahasa Austronesia, yakni kumpulan
bahasa-bahasa yang mempunyai hubungan genetic dan terdiri atas lebih dari 800
bahasa, dituturkan mulai dari Madagaskar di barat sampai Pulau Paskah di timur,
dan dari Taiwan di utara sampai Selandia Baru di Selatan.
Bahasa
melayu yang merupakan turunan bahasa Austronesian Purba, dimulai sebagai satu
dari beberapa varian bahasa yang saling berhubungan erat dan digunakan di
Kalimantan Barat, kurang lebih dua juta tahun yang lalu. Penutur Bahasa Melayu
Purba, nenek moyang dari semua dialek Bahasa Melayu yang masih ada dan yang
sudah punah, mendiami daerah khusus secara ekologis: rawa-rawa, tanah basah,
delta, dan pantai dari daerah sistem sungai di Kalimantan Barat. Pola pemukiman
ini memungkinkan mereka untuk mempertahankan dan mengembangkan teknologi
pelayaran. Hal ini juga menempatkan mereka pada posisi yang menguntungkan dalam
penyaluran benda dan budaya spiritual antara orang Austronesia di pedalaman dan
orang-orang yang tinggal di luar batas perairan Kalimantan (Collins 2005:4).
Pedagang
dan nakhoda kapal yang datang di Malaka sangat beragam budaya, agama, dan
daerah. Karena itu, diperlukan penerjemah untuk mengkomunikasikan kepentingan
mereka. Kemampuan komunikasi, khususnya syahbandar, sangat mempengaruhi
interaksi dan intensitas perdagangan. Dalam hubungan ini Bahasa Melayu sangat
penting, sehingga menjadi keharusan bagi siapa pun untuk mengetahui, memahami,
dan menggunakannya. Menurut Collins (2005:34), Bahasa Melayu pada abad ke-16
merupakan suatu kebutuhan yang mendesak bagi bangsa Eropa yang berdagang di
Malaka. Hal senada juga dikatakan oleh Lombard (2005:34), bahwa sebelum
kedatangan Belanda di Nusantara, pemakaian bahasa Melayu berakar kuat di
kota-kota pelabuhan di sepanjang pesisir. Karena itu, orang Belanda memilih
bahasa itu sebagai alat komunikasi utama dalam perdagangan di nusantara. Itulah
sebabnya bahasa Melayu sering disebut lingua
franca alias bahasa perdagangan maupun bahasa perhubungan.
Bahasa
melayu yang dalam sejarahnya telah lama menjadi bahasa perhubungan (lingua
franca) antara penduduk-penduduk kepulauan Indonesia dan Nusantara umumnya,
telah dipakai sejak zaman Sriwijaya abad ke-7 sampai abad ke-13. Kemudian
setelah meredupnya Sriwijaya pada permulaan abad ke-14, memungkinkan dalam
zaman yang hampir bersamaan tampil dua buah kerajaan besar: Kerajaan Majapahit
di Jawa Timur yang dibangun oleh Raden Wijaya tahun 1293 dan Kerajaan Malaka
yang didirikan oleh Prameswara pada akhir abad ke-14 (Usman 1964:72). Terbentuknya
Kerajaan Malaka inilah salah satu hal yang menandakan Nusantara mulai memasuki
masa yang disebut sebagai masa kurun niaga. Masa di mana mulai bermunculannya
pemain pasar baru yaitu bangsa Islam. Yang hal ini juga ditandai oleh peristiwa
yang menyangkut di Eropa yaitu penguasaan Islam (Dinasti Umayyah) di Spanyol.
Munculnya pemain baru yaitu bangsa Islam sehingga masa kurun niaga juga disebut
sebagai masa kurun Islam. Interaksi dengan bangsa Islam sendiri dibuktikan
dengan adanya prasasti Arab tertua, yaitu batu prasasti Leran dari abad ke-11;
ditambah pula adanya prasasti pada makam Malik Ibrahim, yang mungkin sekali
adalah pedagang dari Gujarat. Prasasti itu berangka tahun 1419 dan terletak di
Gresik, dekat Surabaya (Ronkel 1911, Juynboll 1911).
Pada
abad ke-14 sampai abad ke-17 yang disebut sebagai masa kurun niaga dikarenakan
bahwa di Nusantara pada abad ke-16 terjadi ledakan pasar yang terus-menerus dan
tidak hanya berpengaruh terhadap Eropa dan Laut Tengah sebelah timur, tetapi
juga Cina dan Jepang. Di samping itu juga terbentuknya Kapitalisme saudagar
yang berasal dari Asia Tenggara yang selama periode ini para saudagar,
penguasa, kota dan Negara menempati bagian sentral dalam perdagangan yang
berasal dari dan melalui wilayah mereka (Reid 1999:3).
Mengapa
dari semua bahasa di Kepulauan Indonesia-Malaysia, bahasa Melayu yang terangkat
kedudukan sebagai Lingua Franca? Di
sepanjang Semenanjung Malaya (termasuk keempat propinsi paling selatan
Thailand), meliputi sebagian besar Pulau Sumatera dan di sepanjang daerah
pantai Kalimantan, ditemukan suatu mozaik dari berbagai dialek Melayu pedalaman
yang berbeda, dari lembah yang satu ke lembah yang lain dan dari satu desa ke
desa lain. Beberapa dari dialek ini, seperti dialek Minangkabau dan Kerinci,
itu berlainan sehingga kadang dianggap dua bahasa yang berbeda. Padahal Sumatra
dan Semenanjung Malaya sebenarnya merupakan daerah inti atau pusat bahasa dan
kebudayaan Melayu, sedangkan dialek Kalimantan mewakili penyebaran lebih
lanjut. Adapun timbulnya kebutuhan suatu lingua
franca bagi suatu daerah, yang dikaruniai (atau dibebani) dengan begitu
banyak bahasa, bukanlah hal yang mengherankan, khususnya karena kontak antara
para penutur bahasa-bahasa ini dan bahasa-bahasa lain menjadi lebih sering,
bersamaan dengan berkembangnya perdagangan antar pulau dan perdagangan luar
negeri. Bahwa akhirnya bahasa Melayu mengisi peran tersebut adalah karena
lokasinya yang strategis di kedua tepian pantai Selat Malaka, suatu daerah
perairan sempit tempat perdagangan laut awal antara India dan Cina terpaksa
berlalu-lalang, dan yang menyediakan suatu titik perhentian yang tepat untuk
berlindung dari badai musiman atau untuk mengambil air dan makanan segar.
Selama menanti selesainya pengisian bekal tersebut, para pedagang (bangsa
India, Cina, dan kemudian juga bangsa Arab) haruslah bergantung pada
perdagangan dengan penduduk yang berbahasa Melayu untuk mencari bekal dan tentu
saja memerlukan sarana untuk berkomunikasi dengan mereka. (Kridalaksana 1991:182)
Sehingga
kemudian Bahasa Melayulah yang dipilih dan digunakan sebagai Lingua Franca dikarenakan oleh sebab
yang dikatakan Usman (1964:23-24) di bukunya yang berjudul “Sejarah Bahasa
Persatuan” bahwa karena Bahasa Melayu itu bersifat sederhana dan lebih
demokratis. karena letak Melayu (Negeri-negeri penduduk yang mempergunakan
Bahasa Melayu) di bagian barat menjadi pusat lalu lintas, sejak mulanya bahasa
itulah yang dipergunakan dalam perhubungan, baik sesama penduduk Nusantara
maupun setelah ada hubungan dagang dan kebudayaan dengan bangsa asing. Dalam
perhubungan semacam itu; untuk menghindari salah pengertian, diperlukan kalimat
atau susunan perkataan yang sederhana dan tepat seperti yang kita kenal dengan
Bahasa Inggris dalam hubungan dunia Internasional sekarang. Sehingga penggunaan
bahasa yang semacam itu, baik oleh orang Melayu sendiri terutama oleh penduduk
daerah maupun oleh bangsa pendatang yang lain, menghendaki pikiran dan
ketelitian, supaya tidak terjadi salah paham. Pastilah di kalangan yang agak
terkemuka, bila hendak mengadakan hubungan dengan orang-orang yang tidak
sedaerah dengan dia, perlu pengetahuan bahasa itu sekedarnya.
Bahasa
Melayu adalah bahasa yang sangat unggul dalam bidang ilmu, perdagangan,
diplomasi dan agama. Surat dari Ternate (1521,1522) menggambarkan peran Bahasa
Melayu tulis yang digunakan dalam kegiatan diplomatis di daerah tersebut yang
mana ketika surat tersebut ditulis menggunakan bahasa Melayu, surat tersebut lebih
diterima ketimbang surat yang ditulis menggunakan bahasa Tagalog yang kemudian
surat berbahasa Tagalog itu dirobek-robek menjadi potongan-potongan (Collins
2005:29-30).
Peran
Bahasa Melayu memiliki peran yang lebih dari pada itu. Dilihat selama
berabad-abad lamanya kontak bahasa dari pelabuhan-pelabuhan yang menggunakan
berbagai bahasa di Mediterania, pengembara bangsa Eropa dari zaman itu
menggambarkan Bahasa Melayu sebagai lingua
franca di kawasan Asia Tenggara. Yang mana ini memberikan tekanan akan
persebaran Bahasa Melayu yang luas dan berhubungan erat dengan perdagangan.
Reid
(1988) menyimpulkan posisi khusus dari Bahasa Melayu pada Abad Perdagangan,
bahwa “Bahasa Melayu menjadi bahasa perdagangan di Asia Tenggara. Penduduk dari
kota besar perdagangan diklasifikasikan sebagai orang Melayu karena mereka
berbicara dalam bahasa itu dan memeluk agama Islam, walaupun keturunannya
berasal dari Jawa, Mon, India, Cina, dan Filipina.. setidak-tidaknya mereka
yang berjualan dan berdagang di pelabuhan-pelabuhan besar berbicara dalam
Bahasa Melayu, seperti berbicara dalam bahasa mereka sendiri.“
Bahasa
Melayu juga merupakan bahasa resmi tulis yang digunakan di Istana-istana dan
dalam agama yang dalam saat bersamaan merupakan bahasa yang digunakan untuk
menjalankan tugas sehari-hari, bahasa perdagangan, dan bahasa interaksi
masyarakat di pasar dan pelabuhan. Dengan demikian peran dan posisi Bahasa
Melayu benar-benar melampaui cakupan fungsi dari bahasa-bahasa yang diketahui
yang ada di Eropa dan tidak dapat digambarkan hanya dengan satu kata kiasan.
Menuju
akhir abad ke-16, pihak-pihak lain menyadari akan potensi Bahasa Melayu yang
saat itu digunakan untuk kepentingan perdagangan; ada kebutuhan mendesak untuk
meneruskan Bahasa Melayu dengan baik kepada ‘pemakai’ Bangsa Eropa. Bahasa
Melayu, bahasa sastra dan masyarakat beradab, juga merupakan bahasa pekerjaan
di pelabuhan dan perdagangan, sangat memerlukan pengantar yang sistematis.
Situasi sosiolinguistik pada abad ke-16 di Asia Tenggara mencapai kesuksesan
yang tiada bandingannya dalam karya F. de Houtman. Dia menggunakan tahun-tahun
masa penahanannya (Juni 1599-Agustus 1601) di Aceh untuk mempelajari Bahasa
Melayu dan mengatur kemajuan berbahasanya, yang kemudian ia menemukan sketsa
gaya dari Bahasa Melayu. kemudian diterbitkanlah tsamensprekinghen yang berisi percakapan dalam bahasa Melayu yang
ditulis dengan huruf latin, dengan kolom terjemahan dalam bahasa Belanda;
percakapan antara pedagang dan pejabat pelabuhan, pedagang lainnya, penjaga
pintu, dewan kerajaan, dan sultan sendiri—banyak ragam jenis dan etika gaya
bahasa yang pada percakapan yang kaya dan rumit ini, terlampir daftar kata
Belanda-Melayu (Collins 2005:34-35).
Kemudian
terbit pula buku Spraeck ende woordboeck,
inde Maleysche ende Madagaskarsche Talen yang pertama kali terbit pada
tahun 1603. Yang mana para awak kapal dari berbagai bangsa, Jerman, Belanda,
Denmark, dan Swedia yang berkumpul di Amsterdam dan memasukkan buku ini ke
dalam tas mereka sebelum berangkat ke Asia Tenggara setelah buku percakapan de
Houtman juga diterjemahkan ke dalam bahasa latin lalu kemudian ke dalam bahasa
Inggris. Pembajakan yang jenius dari buku de houtman sebelum tahun 1614 ini menggarisbawahi
dampak internasional buku yang hanya buku pelajaran bahasa–media (hanya media
cetak) yang dapat dibandingkan dengan karya yang segera mendapat perhatian seluruh
dunia.
Hal
yang perlu diingat adalah bahwa buku de Houtman ditujukan kepada orang yang
tidak berbicara dalam bahasa Melayu. Buku tersebut adalah buku pegangan untuk
bahasa, ditulis dalam bentuk percakapan dramatis agar orang Eropa dapat belajar
Bahasa Melayu, bahasa yang tidak terpisahkan dari Kepulauan Nusantara. Dengan
orang Eropa belajar bahasa Melayu, semakin mudah orang Eropa dalam melakukan
transaksi perdagangan dengan penduduk Nusantara. Yang kita semua sama-sama tahu
bahwa awal dari penjajahan bangsa Eropa terhadap Nusantara khususnya diawali
dengan niat awal mereka yang hanya ingin berdagang. Dari yang hanya ingin berdagang
itu kemudian berubah menjadi berambisi untuk menguasai perdagangan dengan melakukan
praktik monopoli. Lalu kemudian membentuk koloni, hingga akhirnya menjajah. Dan
dapat disimpulkan bahwa semua itu berawal dari penguasaan dan pemahaman bahasa
Melayu sebagai bahasa perhubungan dan perdagangan di Nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar