Kamis, 04 April 2019



“BAHASA MELAYU SEBAGAI LINGUA FRANCA PADA MASA KURUN NIAGA”
Oleh : Maryam Syafiyah / 4415151184
Pendidikan Sejarah 2015 A
            Pernahkah terpikir di benak kita semua bagaimanakah cara berkomunikasinya orang-orang asing yang datang dari Gujarat, Arab, Persia, dan Cina yang datang ke nusantara untuk  berdagang antara satu sama lain dan khususnya dengan penduduk lokal pada masa kurun niaga? Mengapa dari semua bahasa di Kepulauan Indonesia-Malaysia, justru bahasa Melayu yang terangkat kedudukannya sebagai Lingua Franca? Bagaimanakah peran dan posisi Bahasa Melayu ketika itu? Dan seberapa pentingnya Bahasa tersebut dalam hubungan perdagangan di Nusantara terutama pada masa kurun niaga?  


 Menurut Kridalaksana (1991), Bahasa Melayu adalah salah satu anggota dari keluarga bahasa Austronesia, yakni kumpulan bahasa-bahasa yang mempunyai hubungan genetic dan terdiri atas lebih dari 800 bahasa, dituturkan mulai dari Madagaskar di barat sampai Pulau Paskah di timur, dan dari Taiwan di utara sampai Selandia Baru di Selatan. 


             Menurut Kridalaksana (1991), Bahasa Melayu adalah salah satu anggota dari keluarga bahasa Austronesia, yakni kumpulan bahasa-bahasa yang mempunyai hubungan genetic dan terdiri atas lebih dari 800 bahasa, dituturkan mulai dari Madagaskar di barat sampai Pulau Paskah di timur, dan dari Taiwan di utara sampai Selandia Baru di Selatan.             
Bahasa melayu yang merupakan turunan bahasa Austronesian Purba, dimulai sebagai satu dari beberapa varian bahasa yang saling berhubungan erat dan digunakan di Kalimantan Barat, kurang lebih dua juta tahun yang lalu. Penutur Bahasa Melayu Purba, nenek moyang dari semua dialek Bahasa Melayu yang masih ada dan yang sudah punah, mendiami daerah khusus secara ekologis: rawa-rawa, tanah basah, delta, dan pantai dari daerah sistem sungai di Kalimantan Barat. Pola pemukiman ini memungkinkan mereka untuk mempertahankan dan mengembangkan teknologi pelayaran. Hal ini juga menempatkan mereka pada posisi yang menguntungkan dalam penyaluran benda dan budaya spiritual antara orang Austronesia di pedalaman dan orang-orang yang tinggal di luar batas perairan Kalimantan (Collins 2005:4).
Pedagang dan nakhoda kapal yang datang di Malaka sangat beragam budaya, agama, dan daerah. Karena itu, diperlukan penerjemah untuk mengkomunikasikan kepentingan mereka. Kemampuan komunikasi, khususnya syahbandar, sangat mempengaruhi interaksi dan intensitas perdagangan. Dalam hubungan ini Bahasa Melayu sangat penting, sehingga menjadi keharusan bagi siapa pun untuk mengetahui, memahami, dan menggunakannya. Menurut Collins (2005:34), Bahasa Melayu pada abad ke-16 merupakan suatu kebutuhan yang mendesak bagi bangsa Eropa yang berdagang di Malaka. Hal senada juga dikatakan oleh Lombard (2005:34), bahwa sebelum kedatangan Belanda di Nusantara, pemakaian bahasa Melayu berakar kuat di kota-kota pelabuhan di sepanjang pesisir. Karena itu, orang Belanda memilih bahasa itu sebagai alat komunikasi utama dalam perdagangan di nusantara. Itulah sebabnya bahasa Melayu sering disebut lingua franca alias bahasa perdagangan maupun bahasa perhubungan.  
Bahasa melayu yang dalam sejarahnya telah lama menjadi bahasa perhubungan (lingua franca) antara penduduk-penduduk kepulauan Indonesia dan Nusantara umumnya, telah dipakai sejak zaman Sriwijaya abad ke-7 sampai abad ke-13. Kemudian setelah meredupnya Sriwijaya pada permulaan abad ke-14, memungkinkan dalam zaman yang hampir bersamaan tampil dua buah kerajaan besar: Kerajaan Majapahit di Jawa Timur yang dibangun oleh Raden Wijaya tahun 1293 dan Kerajaan Malaka yang didirikan oleh Prameswara pada akhir abad ke-14 (Usman 1964:72). Terbentuknya Kerajaan Malaka inilah salah satu hal yang menandakan Nusantara mulai memasuki masa yang disebut sebagai masa kurun niaga. Masa di mana mulai bermunculannya pemain pasar baru yaitu bangsa Islam. Yang hal ini juga ditandai oleh peristiwa yang menyangkut di Eropa yaitu penguasaan Islam (Dinasti Umayyah) di Spanyol. Munculnya pemain baru yaitu bangsa Islam sehingga masa kurun niaga juga disebut sebagai masa kurun Islam. Interaksi dengan bangsa Islam sendiri dibuktikan dengan adanya prasasti Arab tertua, yaitu batu prasasti Leran dari abad ke-11; ditambah pula adanya prasasti pada makam Malik Ibrahim, yang mungkin sekali adalah pedagang dari Gujarat. Prasasti itu berangka tahun 1419 dan terletak di Gresik, dekat Surabaya (Ronkel 1911, Juynboll 1911).
Pada abad ke-14 sampai abad ke-17 yang disebut sebagai masa kurun niaga dikarenakan bahwa di Nusantara pada abad ke-16 terjadi ledakan pasar yang terus-menerus dan tidak hanya berpengaruh terhadap Eropa dan Laut Tengah sebelah timur, tetapi juga Cina dan Jepang. Di samping itu juga terbentuknya Kapitalisme saudagar yang berasal dari Asia Tenggara yang selama periode ini para saudagar, penguasa, kota dan Negara menempati bagian sentral dalam perdagangan yang berasal dari dan melalui wilayah mereka (Reid 1999:3).  
Mengapa dari semua bahasa di Kepulauan Indonesia-Malaysia, bahasa Melayu yang terangkat kedudukan sebagai Lingua Franca? Di sepanjang Semenanjung Malaya (termasuk keempat propinsi paling selatan Thailand), meliputi sebagian besar Pulau Sumatera dan di sepanjang daerah pantai Kalimantan, ditemukan suatu mozaik dari berbagai dialek Melayu pedalaman yang berbeda, dari lembah yang satu ke lembah yang lain dan dari satu desa ke desa lain. Beberapa dari dialek ini, seperti dialek Minangkabau dan Kerinci, itu berlainan sehingga kadang dianggap dua bahasa yang berbeda. Padahal Sumatra dan Semenanjung Malaya sebenarnya merupakan daerah inti atau pusat bahasa dan kebudayaan Melayu, sedangkan dialek Kalimantan mewakili penyebaran lebih lanjut. Adapun timbulnya kebutuhan suatu lingua franca bagi suatu daerah, yang dikaruniai (atau dibebani) dengan begitu banyak bahasa, bukanlah hal yang mengherankan, khususnya karena kontak antara para penutur bahasa-bahasa ini dan bahasa-bahasa lain menjadi lebih sering, bersamaan dengan berkembangnya perdagangan antar pulau dan perdagangan luar negeri. Bahwa akhirnya bahasa Melayu mengisi peran tersebut adalah karena lokasinya yang strategis di kedua tepian pantai Selat Malaka, suatu daerah perairan sempit tempat perdagangan laut awal antara India dan Cina terpaksa berlalu-lalang, dan yang menyediakan suatu titik perhentian yang tepat untuk berlindung dari badai musiman atau untuk mengambil air dan makanan segar. Selama menanti selesainya pengisian bekal tersebut, para pedagang (bangsa India, Cina, dan kemudian juga bangsa Arab) haruslah bergantung pada perdagangan dengan penduduk yang berbahasa Melayu untuk mencari bekal dan tentu saja memerlukan sarana untuk berkomunikasi dengan mereka. (Kridalaksana 1991:182)
Sehingga kemudian Bahasa Melayulah yang dipilih dan digunakan sebagai Lingua Franca dikarenakan oleh sebab yang dikatakan Usman (1964:23-24) di bukunya yang berjudul “Sejarah Bahasa Persatuan” bahwa karena Bahasa Melayu itu bersifat sederhana dan lebih demokratis. karena letak Melayu (Negeri-negeri penduduk yang mempergunakan Bahasa Melayu) di bagian barat menjadi pusat lalu lintas, sejak mulanya bahasa itulah yang dipergunakan dalam perhubungan, baik sesama penduduk Nusantara maupun setelah ada hubungan dagang dan kebudayaan dengan bangsa asing. Dalam perhubungan semacam itu; untuk menghindari salah pengertian, diperlukan kalimat atau susunan perkataan yang sederhana dan tepat seperti yang kita kenal dengan Bahasa Inggris dalam hubungan dunia Internasional sekarang. Sehingga penggunaan bahasa yang semacam itu, baik oleh orang Melayu sendiri terutama oleh penduduk daerah maupun oleh bangsa pendatang yang lain, menghendaki pikiran dan ketelitian, supaya tidak terjadi salah paham. Pastilah di kalangan yang agak terkemuka, bila hendak mengadakan hubungan dengan orang-orang yang tidak sedaerah dengan dia, perlu pengetahuan bahasa itu sekedarnya.
Bahasa Melayu adalah bahasa yang sangat unggul dalam bidang ilmu, perdagangan, diplomasi dan agama. Surat dari Ternate (1521,1522) menggambarkan peran Bahasa Melayu tulis yang digunakan dalam kegiatan diplomatis di daerah tersebut yang mana ketika surat tersebut ditulis menggunakan bahasa Melayu, surat tersebut lebih diterima ketimbang surat yang ditulis menggunakan bahasa Tagalog yang kemudian surat berbahasa Tagalog itu dirobek-robek menjadi potongan-potongan (Collins 2005:29-30).  
Peran Bahasa Melayu memiliki peran yang lebih dari pada itu. Dilihat selama berabad-abad lamanya kontak bahasa dari pelabuhan-pelabuhan yang menggunakan berbagai bahasa di Mediterania, pengembara bangsa Eropa dari zaman itu menggambarkan Bahasa Melayu sebagai lingua franca di kawasan Asia Tenggara. Yang mana ini memberikan tekanan akan persebaran Bahasa Melayu yang luas dan berhubungan erat dengan perdagangan.
Reid (1988) menyimpulkan posisi khusus dari Bahasa Melayu pada Abad Perdagangan, bahwa “Bahasa Melayu menjadi bahasa perdagangan di Asia Tenggara. Penduduk dari kota besar perdagangan diklasifikasikan sebagai orang Melayu karena mereka berbicara dalam bahasa itu dan memeluk agama Islam, walaupun keturunannya berasal dari Jawa, Mon, India, Cina, dan Filipina.. setidak-tidaknya mereka yang berjualan dan berdagang di pelabuhan-pelabuhan besar berbicara dalam Bahasa Melayu, seperti berbicara dalam bahasa mereka sendiri.“
Bahasa Melayu juga merupakan bahasa resmi tulis yang digunakan di Istana-istana dan dalam agama yang dalam saat bersamaan merupakan bahasa yang digunakan untuk menjalankan tugas sehari-hari, bahasa perdagangan, dan bahasa interaksi masyarakat di pasar dan pelabuhan. Dengan demikian peran dan posisi Bahasa Melayu benar-benar melampaui cakupan fungsi dari bahasa-bahasa yang diketahui yang ada di Eropa dan tidak dapat digambarkan hanya dengan satu kata kiasan.        
Menuju akhir abad ke-16, pihak-pihak lain menyadari akan potensi Bahasa Melayu yang saat itu digunakan untuk kepentingan perdagangan; ada kebutuhan mendesak untuk meneruskan Bahasa Melayu dengan baik kepada ‘pemakai’ Bangsa Eropa. Bahasa Melayu, bahasa sastra dan masyarakat beradab, juga merupakan bahasa pekerjaan di pelabuhan dan perdagangan, sangat memerlukan pengantar yang sistematis. Situasi sosiolinguistik pada abad ke-16 di Asia Tenggara mencapai kesuksesan yang tiada bandingannya dalam karya F. de Houtman. Dia menggunakan tahun-tahun masa penahanannya (Juni 1599-Agustus 1601) di Aceh untuk mempelajari Bahasa Melayu dan mengatur kemajuan berbahasanya, yang kemudian ia menemukan sketsa gaya dari Bahasa Melayu. kemudian diterbitkanlah tsamensprekinghen yang berisi percakapan dalam bahasa Melayu yang ditulis dengan huruf latin, dengan kolom terjemahan dalam bahasa Belanda; percakapan antara pedagang dan pejabat pelabuhan, pedagang lainnya, penjaga pintu, dewan kerajaan, dan sultan sendiri—banyak ragam jenis dan etika gaya bahasa yang pada percakapan yang kaya dan rumit ini, terlampir daftar kata Belanda-Melayu (Collins 2005:34-35).
Kemudian terbit pula buku Spraeck ende woordboeck, inde Maleysche ende Madagaskarsche Talen yang pertama kali terbit pada tahun 1603. Yang mana para awak kapal dari berbagai bangsa, Jerman, Belanda, Denmark, dan Swedia yang berkumpul di Amsterdam dan memasukkan buku ini ke dalam tas mereka sebelum berangkat ke Asia Tenggara setelah buku percakapan de Houtman juga diterjemahkan ke dalam bahasa latin lalu kemudian ke dalam bahasa Inggris. Pembajakan yang jenius dari buku de houtman sebelum tahun 1614 ini menggarisbawahi dampak internasional buku yang hanya buku pelajaran bahasa–media (hanya media cetak) yang dapat dibandingkan dengan karya yang segera mendapat perhatian seluruh dunia.
Hal yang perlu diingat adalah bahwa buku de Houtman ditujukan kepada orang yang tidak berbicara dalam bahasa Melayu. Buku tersebut adalah buku pegangan untuk bahasa, ditulis dalam bentuk percakapan dramatis agar orang Eropa dapat belajar Bahasa Melayu, bahasa yang tidak terpisahkan dari Kepulauan Nusantara. Dengan orang Eropa belajar bahasa Melayu, semakin mudah orang Eropa dalam melakukan transaksi perdagangan dengan penduduk Nusantara. Yang kita semua sama-sama tahu bahwa awal dari penjajahan bangsa Eropa terhadap Nusantara khususnya diawali dengan niat awal mereka yang hanya ingin berdagang. Dari yang hanya ingin berdagang itu kemudian berubah menjadi berambisi untuk menguasai perdagangan dengan melakukan praktik monopoli. Lalu kemudian membentuk koloni, hingga akhirnya menjajah. Dan dapat disimpulkan bahwa semua itu berawal dari penguasaan dan pemahaman bahasa Melayu sebagai bahasa perhubungan dan perdagangan di Nusantara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar