Senin, 17 Oktober 2016

Di sana...

Satu sisi manis.
Satu sisi kalem.
Satu sisi serius.
Satu sisi ceria.
Sedang di sisi yg lain, bagus rupa.
Lalu di sisi yg lainnya lagi, lucu.

Tapi satu sisi yg jgn sampai ada disana : kemarahan
Dan kesedihan...


Di sana...
Iya.
Di sana.
Di wajah itu..


Maryam s
(Pup kaliabang tengah,   bekasi Utara)

Sabtu, 01 Oktober 2016



Bapakku bilang itu semacam naluri bagi tiap atau mungkin hanya sebagian manusia yg bisa merasakan siapa sebenarnya orang itu yg kamu berhadapan dengan dia.

Aku atau mungkin naluriku berkata dalam diam sembari melihat dia atau mereka di depanku.
Melihat dia atau mereka yg kurasa ada yg tidak beres yg kulihat dari sorot matanya.
Seakan ku bisa langsung mengetahui bahwa dia atau mereka membenci dan tdk menyukaiku.

Bapakku pun mengalami hal yg sama ketika di hari pertamanya bekerja sebagai guru di salah satu SMAN di Jakarta. Naluri,  sebagaimana yg beliau bilang,  pernah langsung berkata di dalam diamnya yg ditujukan utk org tersebut : "dia akan menjadi musuh saya"
ketika ada seorang penjilat dan munafik yg begitu ketara tdk menyukai keberadaan bapak saya hanya dengan melihat dari sorot matanya.

Dan mungkin itu jg yg saya alami belakangan. Kulihat dia. Dia.  Lalu mereka. Sorot matanya yg begitu dingin. Tak lepas kuperhatikan sorot matanya.  Namun percuma.  Kecewa karena justru yg kulihat hanya ada sorot kebencian disana. Ku langsung tau dia membenci dan tdk menyukaiku.  Tdk menyukai keberadaanku di sekelilingnya.

Seketika hati ingin teriak : "Kamu Munafik! " lalu kuberkata lagi dalam diam "Kamu Penjilat! " sekalipun aku melihat wajahmu tersenyum manis yg dipaksakan. Namun sayang itu semua cuma topeng yg kau pakai. Topeng hanya sebagai formalitas. Dan persetan dengan formalitas. Aku muak dengan itu semua.